“Apa kerja anak kita pergi ke sana? Tidakkah
rusa dan pelanduk dengan kandangnya, dan tidakkah kijang, landak dengan
karungannya? Tidakkah segala ikan dan kerang-kerangan didalam kolam? Dan
tiadakah buah-buahan dan bunga-bungaan dalam taman? Mengapakah maka
anak kita hendak bermain jauh?”
Maka sembah Sang Nila Utama : ”Segala anak sungai
Bitan ini telah habislah sudah tempat beta bermain : Bahwa Tanjung Bemban ini
ditawarkan orang terlalu baik. Itulah sebabnya maka beta hendak pergi. Dan
jikalau tiada diberi beta pergi beta bermain ke Tanjung Bemban ini, duduk mati,
berdiri mati, serba mati.”
Maka beberapa dilarang permaisuri Iskadar
Syah, Baginda bermohon juga pergi. Maka titah permaisuri. ”Daripada sebab kita
anak kita mati, baiklah anak kita pergi.”
Maka permaisuri pun menyuruh berlengkap
pada Indera Bupala dan pada Aria Bupala : Telah sudah lengkap maka
Sang Nila Utama pun berangkatlah dengan raja perempuan sekali. Maka segala
lancing kenaikan pun didayung oranglah. Adapun kenaikan Baginda lancaran
bertiang tiga, pilah peraduan dalam kelambu tirai dalam kurung, serta
pemandian, dan perlengkapan bermasak-masak. Maka rupa perahu orang yang mengiringkan
tiada terbilang lagi.
Telah datang ke Tanjung Bemban maka Baginda
pun turun bermain ke pasir. Maka raja perempuan pun turun dengan segala
bini orang besar-besar dan orang kaya-kaya bermain di pasir itu mangambil
kerang-kerangan. Maka raja perempuan duduk dibawah pohon padan dihadap bini
segala orang kaya-kaya. Maka Baginda terlalu suka melihat kesukaan
dayang-dayang bermain itu. Masing-masing pada kesukaannya : Ada yang
mengambil siput, ada yang mengambil kupang, ada yang mengambil ketam, ada juga
yang mengambil lokan, ada yang mengambil kayu olah hulaman, ada yang
mengambil bunga karang, ada yang mengambil agar-agar. Maka terlalulah suka cita
segala dayang-dayang itu : Ada yang membuat bunga-bungaan diperbuat
sunting, masing-masing dengan tingkah lakunya, dan ada yang berlari terhambat-hambatan
teserandung jatuh rebah rempah daripada sangat sukanya itu.
Adapun Sang Nila Utama dengan segala menteri,
pegawai, dan rakyat pergi berburu. Maka terlalulah banyak beroleh perburuan.
Hatta maka lalu seekor rusa di hadapan Sang Nila Utama, maka ditikam Baginda
sekali lagi, kena rusuknya, terus lalu mati. Maka Sang Nila Utama datang pada
suatu batu, terlalu besar dengan tingginya, maka Baginda naik ke atas batu itu
memandang ke seberang. Pasirnya terlalu putih seperti
kain terhampar. Maka Baginda pun bertanya pada Indera Bupala , “Pasir yang
kelihatan itu tanah mana?”
Maka sembah Indera Bupala : “Itualah ujung
tanah besar, Temasik namanya.”
Maka titah Sang Nila Utama : “Mari kita pergi
ke sana.”
Maka sembah Indera Bupala : “Mana titah
tuanku.”
Maka Sang Nila Utama pun naiklah ke
perahu lalu menyeberang.
Setelah datang ke tengah laut, ribut pun turun
: maka kenaikan itu pun keairan, maka pertimba orang tiada tertimba
air ruang lagi.
Maka disuruh penghulu kenaikan membuang ; maka
beberapa harta dibuangkan, tiada beberapa lagi yang tinggal. Maka kenaikan itu
hampir ke teluk Belanga, makin sangat air naik; maka di buang orang segala
harta yang lagi tinggal itu, hanyalah mahkota juga yang ada lagi, tiada juga
kenaikan itu timbul.
Maka sembah penghulu kenaikan kepada Sang Nila
Utama : ”Tuanku, kepada bicara patik sebab mahkota ini juga gerangan maka
kenaikan kapal ini telah habislah sudah. Jikalau mahkota ini tiada dibuangkan,
tiadalah kenaikan ini timbul dan tiadalah tebela oleh patik sekalian.”
Maka titah Sang Nila Utama : “Jikalau
demikian, buangkanlah mahkota ini.”
Maka dibuangkan oranglah mahkota itu. Hatta
maka ribut itu pun teduhlah, dan kenaikan itu pun timbullah, maka didayung
oranglah ke darat. Setelah sampai ke tepi pantai, maka kenaikan itu pun
dikepilkan oranglah; maka Sang Nila Utama naik ke pasir dengan segala rakyat
bermain,mengambil segala kerang-kerangan; lalu Baginda berjalan ke darat
bermain ke padang kuala Temasik itu.
Syahdan maka dilihat oleh segala mereka itu
seekor binatang maha tangkas lakunya, merah warna tubuhnya, hitam kepalanya dan
putih dadanya. Dan sikapnya terlalu pantas dan perkasa dan besarnya besar
sedikit daripada kambing randuk. Telah ia melihat orang banyak maka ia berjalan
ke darat lalu lenyap. Maka Sang Nila Utama bertanya pada segala orang yang ada
sertanya itu:” Binatang apa itu?”
Maka seorang pun tiada tahu.
Maka sembah Demang Lebar Daun, ”Tuanku, ada
patik mendengar dahulu kala singa yang demikian sifatnya. Baik tempat ini,
karena binatang gagah ada di dalamnya.”
Maka titah Sang Nila Utama pada Indera Bupala
; “ Pergilah Tuan hamba kembali. Katakan pada Bunda bahwa kita tiadalah
kembali. Jikalau ada kasih Bunda akan kita, berilah kita rakyat dan gajah,
kuda. Kita hendak membuat negeri di Temasik ini.”
Maka Indera Bupala pun kembali. Telah datang
ke Bintan maka ia pun masuk menghadap permaisuri Iskandar Syah. Maka kata Sang
Nila Utama itu semua di persembahkanya kepada permaisuri.
Maka kata permaisuri. “Baiklah, yang mana kehendak anak kita itu
tidak kita lalui.”
Maka dihantari Baginda rakyat dan gajah, kuda
tiada teperamanai banyaknya. Maka Sang Nila Utama pun berbuat di negeri
Temasik, maka di namai Baginda Singapura. Maka Bat membacakan cirinya : maka
Sang Nila Utama digelarnya oleh Bat Seri Teribuana.
Telah beberapa lamanya Seri Teribuana kerajaan
di Singapura itu maka Baginda berputra dua orang laki-laki. Keduanya baik
paras; yang tua Raja Kecil Besar namanya, yang muda Raja Kecil Muda namanya.
Maka permaisuri Iskandar Syah dan Deman Lebar
Daun dirajakan Baginda di Bitan, bergelar Tun Telanai. Dan daripada anak cucu
dialah berelar Telanai Bitani, dan yang makan di balirung nasinya dan sirihnya
sekaliannya bertetampan belaka. Hatta negeri Singapura pun besarlah,
dan dagang pun banyak datang berkampung terlalu ramai, dan Bandar pun terlalu
makmur.
(Dikutip dari : Sejarah Melayu. T.D Situmorang
dan A. Teeuw)
0 comments: